Apakah Imunisasi itu?
Imunisasi adalah suatu tindakan
untuk memberikan perlindungan (kekebalan) di dalam tubuh bayi dan anak.
Apakah tujuan dan gunanya?
Tujuan dan guna imunisasi adalah
untuk melindungi dan mencegah terhadap penyakit-penyakit menular yang sangat
berbahaya bagi bayi dan anak.
Penyakit-penyakit apa saja yang
dapat dicegah dengan imunisasi?
Penyakit yang dapat dicegah terutama
pada bayi dan anak adalah :
- Tuberkolosis (TBC)
- Difteri
- Pertusis (Batuk rejan/batuk 100 hari)
- Tetanus
- Poliomielitis
- Campak
- Penyakit radang hati (Hepatitis B)
- Penyakit Gondongan (Mump)
- Penyakit Campak Jerman (Rubella)
- Penyakit Tifus
Siapa saja yang perlu mendapat
imunisasi ?
- Semua orang terutama bayi dan anak sejak lahir memerlukan imunisasi untuk melindungi tubuhnya dari penyakit-penyakit berbahaya.
- Semua orang yang kontak (berhubungan) dengan penderita penyakit menular tersebut di atas.
JADWAL IMUNISASI DASAR
Berikut ini adalah jadwal imunisasi
dasar yang dapat dijadikan pedoman. Jadwal ini merupakan jadwal terbaru yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2009.
Umur
|
Jenis Imunisasi
|
0-7 hari
|
HB 0
|
1 bulan
|
BCG, Polio 1
|
2 bulan
|
DPT/HB 1, Polio 2
|
3 bulan
|
DPT/HB 2, Polio 3
|
4 bulan
|
DPT/HB 3, Polio 4
|
9 bulan
|
Campak
|
Keterangan:
HB 0 = Hepatitis B yang pertama
HB 1 = Hepatitis B yang kedua
HB 2 = Hepatitis B yang ketiga, dst.
KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI
(KIPI)
KIPI adalah semua kejadian sakit dan
kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada umumnya reaksi
terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang, atau kejadian lain
yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin, yang antara lain berupa
efek farmakologi (sifat obat), efek samping, interaksi obat, intoleransi, dan
reaksi alergi.
Reaksi alergi merupakan kepekaan
seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi
dapat terjadi terhadap protein telur yang terkandung di dalam vaksin (vaksin
campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif
(neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek
langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan
distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan
imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sebagian
besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi
tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan. Sehingga,
bila prosedur dan teknik pelaksanaan benar, maka resiko terjadinya KIPI lebih
rendah dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
BEBERAPA PERTANYAAN YANG SERING
DIAJUKAN ORANGTUA
- Mengapa jadwal imunisasi di beberapa praktek dokter, klinik atau rumah sakit berbeda-beda ?
Perbedaan jadwal imunisasi pada
kurun waktu yang berbeda di beberapa praktek dokter antara lain karena sumber
rujukan yang berbeda, adanya pergeseran epidemiologi (pola penyebaran) penyakit
tertentu, adanya modifikasi untuk memudahkan orangtua, atau pertimbangan khusus
berdasarkan keadaan bayi dan anak pada saat itu. Apabila diamati lebih teliti,
jadwal yang seolah berbeda-beda tersebut umunya masih berada rentang umur
jadwal yang dianjurkan oleh Program Pengembangan Imunisasi (PPI – Depkes)
maupun Satgas Imunisasi PP IDAI.
- Jadwal Imunisasi mana yang terbaik ?
Sesuai dengan jawaban di atas, maka
jadwal yang terbaik adalah yang masih masuk di dalam rentang umur Jadwal
Imunisasi PPI Depkes maupun PPI Depkes maupun Rekomendasi Satgas Imunisasi PP
IDAI (Bab III Jadwal Imunisasi). Namun harus dipertimbangkan pula keadaan dan
riwayat bayi/anak yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian
ikutan pasca imunisasi, serta permintaan orangtua (misalnya vaksinasi varilrix
sebelum umur 10 tahun). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dokter
dapat melakukan penyesuaian untuk kepentingan bayi / anak, disertai penjelasan
kepada orangtua.
- Jika pada saat balita sudah diimunisasi lengkap, apakah di sekolah perlu diimunisasi lagi ? Mengapa perlu ?
Imunisasi yang perlu diberikan
ulangan pada sekolah pada sekolah dasar (SD) yaitu, imunisasi campak dan DT
(saat kelas 1), dan TT (saat kelas 2, 3 dan 6). Karena banyak anak yang sudah
divaksinasi waktu bayi ternyata pada umur 5-7 tahun 28,3% di antaranya masih
terkena campak. Pada umur >10 tahun masih dijumpai kasus difteria. Untuk
pemberantasan tetanus, setidaknya dibutuhkan 5 kali suntikan tetanus toksoid (TT)
sejak bayi sampai dewasa, sehingga kekebalan pada umur dewasa bisa berlangsung
hingga sekitar 20 tahun lagi.
- Bayi / Anak sedang pilek batuk bolehkah diimunisasi ?
Boleh. Batuk pilek ringan tanpa
demam boleh diimunisasi, kecuali bila bayi sangat rewel, imunisasi dapat
ditunda 1 – 2 minggu kemudian.
- Jika sedang minum antibiotik bolehkah diimunisasi ?
Boleh, karena antibiotik tidak
mengganggu potensi vaksin. Perlu dipertimbangkan apabila bayi / anak menderita
penyakit atau keadaan tertentu sesuai pedoman umum vaksinasi.
- Jika sedang minum obat lain apakah boleh diimunisasi ?
Apabila anak sedang minum obat
prednison 2 mg/kgbb/hari, dianjurkan menunda imunisasi 1 bulan setelah selesai
pengobatan.
- Sesudah diimunisasi apakah pasti tidak akan tertular penyakit tersebut ?
Tidak ada vaksinasi yang memberikan
perlindungan terhadap suatu penyakit secara 100 persen. Bayi atau anak yang
telah diimunisasi, walaupun kemungkinannya sangat kecil, masih dapat tertular
penyakit tersebut, namun akan jauh lebih ringan dibandingkan dengan anak yang
tidak diimunisasi. Sehingga kemungkinan untuk bisa disembuhkan jauh lebih
besar.
- Apakah jadwal imunisasi untuk bayi prematur harus ditunda ?
Ya, vaksin polio sebaiknya diberikan
sesudah bayi prematur berumur 2 bulan atau berat badan sudah > 2000 gram,
demikian pula DPT, hepatitis B dan Hib.
- Apabila jarak antar imunisasi labih lama dari jarak yang dianjurkan, apakah vaksinasi perlu diulang ?
Tidak pelu diulang, karena sistem
imunisasi tubuh dapat “mengingat” rangsangan vaksin terdahulu. Lanjutkan dengan
vaksinasi yang belum diberikan dengan jarak sesuai anjuran.
- Apabila anak diberi beberapa jenis vaksin sekaligus apakah tidak berbahaya ?
Tidak berbahaya, asalkan imunisasi
dilakukan di bagian tubuh yang berbeda (misalnya paha / lengan kiri dan kanan),
menggunakan alat suntik yang berlainan dan memperhatikan ketentuan umum tentang
pemberian vaksin.
- Beberapa dokter menyuntikkan vaksin di tempat yang berbeda walaupun vaksinnya sama. Apakah ada perbedaan kekebalan ? (Misalnya penyuntikan vaksin BCG ada yang di lengan atau pinggul, campak, hepatitis B, Hib, DPT di lengan atau paha)
Pemilihan tempat penyuntikan vaksin
berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain tebal otot atau lemak, untuk
mendapatkan kekebalan optimal, cedera yang minimal pada jaringan, pembuluh
darah, saraf di sekitarnya, memperkecil kemungkinan rasa tidak nyaman pada bayi
dan anak akibat gerakan, sentuhan, terutama apabila bayi sudah dapat berjalan,
dan bayi dan anak akibat gerakan, sentuhan, terutama apabila bayi sudah dapat berjalan,
dan pertimbangan estetis. Perbedaan tempat penyuntikan tidak menimbulkan
perbedaan kekebalan, asalkan kedalaman penusukan jarum atau jaringan yang
disuntik vaksin sesuai dengan ketentuan untuk setiap jenis vaksin. Khusus untuk
BCG sudah ada kesepakatan diberikan pada lengan kanan atas.
- Jika pada imunisasi terdahulu timbul kejadian ikutan pasca imunisasi, bagaimana jadwal vaksinasi selanjutnya ?
Jika kejadian ikutan pasca imunisasi
hanya ringan, vaksinasi berikutnya sesuai jadwal, tetapi jika berat sebaiknya
dosis berikutnya tidak dilanjutkan. Jika kejadian ikutan pasca imunisasi DPT
cukup berat, dosis berikutnya menggunakan vaksin DT.
- Apakah dibenarkan mengurangi dosis menjadi setengahnya atau menjadi dosis terbagi (split doses) ?
Pengurangan dosis menjadi
setengahnya, atau membagi dosis sangat tidak dibenarkan.
- Apabila bayi / anak sudah pernah sakit campak, rubela atau batuk rejan bolehkah diimunisasi untuk penyakit-penyakit tersebut? Apakah justru indikasi kontra ?
Boleh, walaupun ada riwayat pernah
menderita penyakit tersebut vaksinasi tidaklah berbahaya. Vaksinasi bayi / anak
dengan riwayat pernah sakit campak akan meningkatkan kekebalan dan tidak
menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella tanpa konfirmasi laboratorium
sangat tidak dapat dipercaya. Anak dengan riwayat pernah sakit tersebut
sebaiknya tetap diberikan MMR.
- Apakah anak yang menderita epilepsi bolehkah diimunisasi ?
Kelainan neurologik (berkaitan
dengan saraf) yang stabil dan riwayat kejang atau epilepsi di dalam keluarga
bukanlah indikasi kontra untuk memberikan vaksinasi DPT. Orangtua atau pengasuh
harus diingatkan bahwa sesudah vaksinasi dapat timbul demam, oleh karena itu
dianjurkan untuk segera memberikan obat penurun panas. Harus diingatkan pula
bahwa demam pasca vaksinasi campak timbul 5 – 10 hari setelah imunisasi.
- Apakah anak yang menderita alergi boleh diimunisasi ?
Pasien asma, eksim dan pilek boleh
diimunisasi. Tetapi kita harus sangat berhati-hati jika anak alergi berat
terhadap telur. Jika riwayat reaksi anafilaktik (alergi berat) terhadap telur (dengan
tanda-tanda sbb.: urtikaria/kaligata luas, pembengkakan mulut atau tenggorok,
kesulitan bernafas, mengi/nafas berbuyi, penurunan tekanan darah atau
syok/keadaan tidak sadar akibat tekanan darah terlalu rendah) merupakan
indikasi kontra untuk vaksin influenza, demam kuning dan demam Q. Sedangkan
untuk vaksin MMR karena kejadian reaksi anafilaktik sangat jarang, masih boleh
diberikan dengan pengawasan.
MITOS SEPUTAR IMUNISASI
Kabar burung seputar imunisasi
banyak berseliweran, tapi rata-rata masyarakat mempercayai begitu saja kabar
tersebut tanpa mencari tahu kebenarannya. Kadang-kadang akibat mitos yang
beredar di masyarakat banyak orangtua yang tidak memberikan anaknya imunisasi,
karena takut anaknya terkena autis atau sakit setelah melakukan suatu
imunisasi. Berikut beberapa mitos seputar imunisasi :
1. Vaksin MMR (measles, mumps dan
rubella) bisa menyebabkan anak autis.
Biasanya gejala autis pertama kali
terlihat saat bayi berusia 12 sampai 18 bulan, di mana hampir bersamaan dengan
diberikannya vaksin MMR. Kebanyakan autis disebabkan oleh faktor genetik, jadi
jangan takut untuk memberikan vaksin MMR pada anak
Sampai saat ini belum ada bukti yang
mendukung bahwa imunisasi (jenis imunisasi apapun) dapat menyebabkan autisme.
Baik Badan Kesehatan Dunia (WHO) maupun Departemen Kesehatan & Kesos RI
tetap merekomendasikan pemberian semua imunisasi sesuai jadwal yang telah
ditentukan.
2. Terlalu banyak vaksin akan
membebani sistem imun.
Mitos ini tidak benar, karena
meskipun jumlah suntikan vaksin meningkat tapi jumlah antigen telah menurun.
Selain itu sistem imun manusia memberikan respons terhadap ratusan antigen
dalam kehidupan setiap hari. Berbagai penelitian tidak memperlihatkan
meningkatnya penyakit infeksi setelah adanya imunisasi.
3. Tidak boleh memberikan ASI
sesudah vaksin polio.
Anak yang diberikan vaksin polio
boleh langsung diberikan ASI. ASI yang diproduksi dalam 1 minggu pertama
(kolostrum) terdapat antibodi dengan titer tinggi yang dapat mengikat vaksin
polio oral.
Bagaimana jika bayi memuntahkan
vaksin polio ?
Jika muntah terjadi sebelum 10
menit, segera berikan lagi vaksin polio dengan dosis sama. Jika muntah
berulang, berikan lagi pada keesokan harinya.
4. Anak sakit flu tidak boleh
diimunisasi.
Jika anak hanya sakit flu yang
ringan maka boleh saja dilakukan imunisasi, asalkan anak tidak demam dan tidak
rewel. Jika bayi sangat rewel maka tunda melakukan imunisasi 1 hingga 2 minggu.
5. Lebih baik memberi natural
infeksi dibanding dengan vaksinasi.
Mitos ini tidak benar. Suatu
penyakit bisa mengakibatkan kematian serta kecacatan yang permanen, dan dengan
melakukan vaksinasi dapat memberikan perlindungan tanpa efek samping yang
berat.
Imunisasi sangat penting sebagai
pencegahan terhadap penyakit yang belum ada obatnya, penyakit mematikan atau
dapat menimbulkan kecacatan serta melibatkan orang banyak. Selain itu imunisasi
juga berguna untuk melindungi anak, menurunkan kejadian penyakt menular di
masyarakat serta menjaga keluarga dan anak-anak tetap sehat.
Anda jangan langsung percaya
terhadap semua kabar burung yang beredar mengenai imunisasi, sebaiknya cari
tahu penjelasannya melalui situs-situs ilmiah di internet atau berkonsultasi
dengan dokter anak Anda.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar